twitter



Apa yang terbayangkan dalam benak anda ketika mendengar kata preman ?

KATA preman kerap kali identik dengan sosok menyeramkan berwajah sangar dengan pakaian belel penuh robekan di beberapa tempat, serta lambang identitas berupa tato di sekujur tubuh yang tak pernah lepas dari imej seorang preman. Identitas berupa tato ular sampai tato naga serta hewan – hewan lain digunakan untuk menggambarkan kekuatan dan kekuasaan.

Tetapi gambaran tersebut tak selalu demikian. Tengok saja misalnya di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Di sana anda dapat menemukan beberapa preman berkemeja rapih, bercelana panjang dan bersepatu hitam mengkilat. Yang jelas mereka bukanlah preman sembarangan. Bajunya bukanlah baju sembarangan, tidak terdapat robekan, namun mampu menakuti masyarakat. Tato tidaklah lagi menjadi senjatanya untuk menunjukkan kekuasaan tetapi di tangannya diletakkan otoritas yang kekuatannya mampu menghancurkan keadilan.

Petugas Satpol PP, begitu sebutan bagi mereka. Apa yang mereka lakukan di Pasar Rebo ? Layaknya aparat penegak hukum, mereka seharusnya bertugas menciptakan keteraturan yang bertujuan menyejahterakan masyarakat namun yang terjadi justru sebaliknya, keberadaan “preman berkemeja” tersebut justru meresahkan masyarakat.

Berdasarkan pengamatan yang kami lakukan bukan melaksanakan tanggung jawab sebagaimana semestinya, para “preman berkemeja” itu justru menghabiskan waktu kerjanya dengan menongkrong sambil minum kopi, mengobrol, membaca Koran, mendengarkan musik ataupun bermain handphone. Lalu apakah gunanya pemerintah mengalokasikan dana untuk menggaji para “preman berkemeja” tersebut ? Apakah tidak lebih bermanfaat jika dana yang dipakai untuk menggaji mereka digunakan untuk bantuan modal usaha bagi rakyat miskin?

Ali, seorang pedagang buah yang berjualan di sepanjang trotoar di Pasar Rebo mengatakan bahwa Para Petugas Satpol PP sering menarik pungutan liar kepada para supir angkot yang beroperasi di pasar Rebo. Para supir angkot yang beroperasi di Pasar Rebo wajib menyerahkan sejumlah uang agar mereka dapat memarkirkan mobilnya dengan tenang di pinggir jalan ketika sedang mencari penumpang. Besarnya kurang lebih RP 40.000,00 untuk angkot yang beroperasi pada pagi hari, Rp 60.000,00 untuk angkot yang beroperasi pada malam hari bahkan beberapa angkot dengan rute tertentu dikenakan Rp. 120.000,00. Padahal keberadaan mobil – mobil angkot yang memarkirkan angkotnya di pinggir jalan itu cukup meresahkan pengguna jalan lainnya karena menimbulkan kemacetan dan kekacauan lalu lintas.

Para petugas Satpol PP juga seringkali memalak para pedagang asongan yang berjualan di sepanjang trotoar, terkadang mereka meminta rokok atau menuntut para pedagang buah untuk membuatkan parsel secara gratis bagi mereka pada hari – hari tertentu. Berdasarkan pengakuan seorang pedagang asongan pikulan yang tidak menyebutkan namanya, para “preman berkemeja” tersebut juga kerap kali mengutili barang dagangan yang mereka sita dari pedagang asongan pikulan yang mereka sergap, bahkan pedagang – pedagang tersebut harus menebus kembali barang dagangannya dengan membayar uang sebesar Rp 50.000,00. Pak Rimin, salah seorang dari anggota Satpol PP membantah kabar tidak sedap tersebut. Ia mengaku bahwa barang dagangan yang disita akan dikembalikan kepada para pedagang tanpa memberikan sanksi ekonomi bagi si pedagang.

Disini dapat dilihat betapa bobroknya mental aparat penegak hukum di negeri ini, dimana premanisme telah merajalela dalam lingkup lembaga hukum dan aparat – aparatnya tanpa seorangpun mampu menghentikannya. Dan seperti biasanya, kembali lagi masyarakat yang menjadi korban tanpa mampu memberikan perlawan karena tidak memiliki daya, kekuatan apalagi otoritas.

Ditulis oleh : Deirdre Tenawin