twitter



Setiap tahun ratusan bahkan ribuan manusia menjadi korban perdagangan manusia atau yang sering disebut dengan trafiking. Pemerintah Amerika Serikat menyebutkan bahwa dalam periode satu tahun setidaknya 600.000 - 800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan menyeberangi perbatasan internasional dengan lebih dari separuhnya mengalami eksploitasi seksual dan sedikitnya 30 persen dari jumlah di atas adalah orang–orang Indonesia.

Di Indonesia, sejarah mencatat bahwa kasus ‘trafiking’ telah terjadi selama lebih dari 10 tahun. Tahun 1993 misalnya, 40 orang gadis Kalimantan Barat diperdagangkan ke Taiwan dengan modus perkawinan tradisional ( Sinar, 4 Oktober 1993 ). Tahun 1996 diwarnai dengan banyaknya anak Bali yang dijadikan obyek seksual dan pornografi oleh orang asing berkedok pekerja sosial. ( Sinar, 19 Oktober 1996 ). Dan masih banyak lagi kasus ‘trafiking’, yang jumlahnya melampaui naluri kemanusiaan sehingga tak dapat dipaparkan satu per satu.

Batasan ‘trafiking’
Perserikatan Bangsa–Bangsa ( PBB ) mendefinisikan ‘trafiking’ sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi ( Protokol PBB tahun 2000 untuk mencegah, menanggulangi dan menghukum ‘Trafiking’ terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara ).

Korban ‘trafiking’
Dalam kasus ‘trafiking’, korban adalah objek utama yang seharusnya menjadi sasaran perhatian agar dapat memahami, menuntaskan dan memberantas ‘trafiking’. Dengan lebih memberi perhatian dan mengenal korban, siapa mereka, mengapa mereka begitu dekat dan mudah mengalami ‘trafiking’ dan apakah yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan mereka, niscaya perlahan tapi pasti kita mampu mengurangi kasus ‘trafiking’ lewat peminimalan faktor–faktor penyebabnya..

Siapa korban ‘trafiking’ ?
Korban ‘trafiking’ umumnya adalah masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah. Tuntutan untuk bertahan hidup, melunasi hutang–hutang yang semakin membengkak serta guna memenuhi segala kebutuhannya mendorong mereka berpendidikan kurang cenderung mencari pekerjaan yang dianggapnya mudah, tidak menuntut ketrampilan yang tinggi namun menghasilkan imbalan yang besar. Akhirnya pilihan menjadi TKI / TKW di luar negeri dengan iming - iming upah yang besar menjadi impian tersendiri, walau impian mereka justru dimanfaatkan oknum–oknum tertentu untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui tindak ‘trafiking’ yang mereka lakukan.

Walaupun begitu tidak semua kasus ‘trafiking’ terjadi karena latar belakang ekonomi yang rendah, mereka yang menjadi korban ‘trafiking’ juga adalah mereka yang lemah dan tak berdaya. Wanita dan anak–anak adalah yang dekat dengan keadaan ini. Sering kali kita mendapati kasus ‘trafiking’ wanita dan anak – anak ( bahkan bayi ) diculik, diperkosa, dijual atau dieksploitasi sedemikian rupa, baik dijadikan pekerja seks maupun dipaksa bekerja sebagai pengemis, pengamen, dsb. tanpa menerima upah selayaknya. Mereka dijadikan mesin penghasil uang.

Apa faktor penyebab terjadinya ‘trafiking’ ?
Tidak ada faktor tunggal yang mampu mewakili seluruh sebab terjadinya ‘trafiking’ pada manusia. Hal ini dikarenakan banyaknya kepentingan yang membentuk dan menyebabkan terjadinya kasus–kasus ‘trafiking’ yang ada selama ini. Namun secara keseluruhan, termasuk didalamnya ; faktor kemiskinan, faktor keinginan menjadi kaya dengan jalan yang mudah dan cepat, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, kurangnya wawasan mengenai ‘trafiking’, dan lemahnya kinerja penegakkan hukum.

Kemiskinan mendorong orang berusaha menyelesaikan persoalan–persoalan perekonomiannya, misalnya melunasi hutang–hutang yang semakin membengkak dan memenuhi kebutuhan yang mendesak. Hal tersebut mendorong mereka mau melakukan pekerjaan apa saja demi menyelesaikan problem perekonomiannya yang sudah sangat kompleks, sehingga mengakibatkan terbuka kesempatan terjadinya ‘trafiking’.

Tuntutan globalisasi zaman mendorong setiap orang berlomba–lomba meningkatkan taraf hidup mereka setinggi mungkin. Semua orang ingin cepat kaya dengan jalan semudah dan secepat mungkin. Hal ini mendorong segilintir orang bermigrasi ke negara lain untuk mencari pekerjaan dengan iming-iming gaji yang besar. Orang–orang tersebut rentan menjadi korban ‘trafiking’.

Tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah membuat seseorang mengalami keterbatasan dalam kesempatan kerja. Hal ini mendorong orang tersebut mencari pekerjaan yang mudah dan tidak menuntut tingkat pendidikan maupun ketrampilan yang tinggi. Orang –orang tersebut menjadi rentan menjadi korban ‘trafiking’ karena kebiasaan mereka yang bermigrasi kesana–kemari guna mencari pekerjaan yang menjanjikan bagi mereka.

Kurangnya wawasan masyarakat mengenai ‘trafiking’ membuat masyarakat umumnya kurang memberi perhatian pada hal tersebut. Masyarakat menjadi kurang peka terhadap kasus–kasus ‘trafiking’ yang terjadi di sekitarnya sehingga cenderung tidak sadar dan waspada akan bahaya ‘trafiking’ yang mengintainya karena mereka tidak tahu bagaimana cara pelaku trafiking menipu dan menjerat korbannya.

Negara Indonesia memiliki konstitusi hukum yang dengan jelas mengatur perlindungan bagi masyarakatnya dari tindak ‘trafiking’. Kita punya UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), KUHP (Pasal 297), Keppres No 88 Tahun 2002 RAN Anti ‘Trafiking’, Perda Sulawesi Utara No.1 tahun 2004 dan Perda Sumatera Utara No.6 tahun 2004. Namun sangat disayangkan penerapan aturan–aturan hukum yang telah dibuat dengan tujuan yang baik dan tegas tidak dijalankan dengan baik dan tegas. Hal ini membuat tindak ‘trafiking’ terus bertumbuh secara merajalela tanpa mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum.

Dampak ‘trafiking’
Selain akan mengalami luka fisik dan penyakit–penyakit akibat tindakan semena–mena yang didapatkannya, korban ‘trafiking’ juga dapat mengalami ganguan psikologis karena tidak kuasa menerima keadaannya. Tak jarang para korban tersebut menemui diri mereka terkucilkan dan terasing dari komunitasnya akibat perlakuan yang mereka terima yang telah menodahi harga diri dan martabatnya. Bagi korban ‘trafiking’ yang masih tergolong anak–anak akan mengalami trauma permanen yang menghambat pertumbuhannya.

Tawaran Solusi
Perlu kita sadari bahwa tentunya setiap individu mendambakan masa depan yang cerah, latar belakang pendidikan yang tinggi serta kehidupan yang makmur. Namun pada kenyataannya, tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang mereka impikan karena tidak memiliki daya untuk meraih impiannya. Misalnya saja faktor kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan seseorang tidak dapat memperoleh pendidikan karena mahalnya biaya pendidikan itu. Pada akhirnya mereka terpaksa untuk mencari solusi lain untuk menyelesaikan persoalan ekonomi dalam hidupnya.

Salah satu solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan adalah dengan memperbanyak sektor industri guna menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja menengah. Tenaga kerja menengah yang diharapkan adalah tenaga kerja yang produktif dan profesional. Untuk itu, diperlukan suatu sistem pendidikan yang siap mendidik generasi muda menjadi tenaga yang profesional. Dalam tataran realisasi di lapangan hal itu tidak mudah untuk dilaksanakan tanpa ada dukungan dari pemerintah dan swasta.

Faktor keamanan dan kestabilan politik di Negara ini juga harus menjadi perhatian serius kita semua khususnya pemerintah, karena hal tersebut akan membawa dampak positif bagi perekonomian bangsa ini. Keamanan dan kestabilan politik akan menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Negara ini. sehingga tumbuh sektor–sektor industri baru yang kemudian berdampak pada terbukanya kesempatan kerja yang luas yang mampu menampung tenaga kerja di Indonesia. Jika tersedia banyak kesempatan kerja yang menjanjikan di Negara ini, maka masyarakat tidak perlu berbondong–bondong mencari pekerjaan di negri lain.

Peran pemerintah dan aparat penegak hukum juga sangat dibutuhkan dalam menindak para pelaku ‘trafiking’. Hukuman yang adil dan tegas yang diberikan kepada para pelaku ‘trafiking’ diharapkan dapat memberikan efek jera, sehingga kejahatan ‘trafiking’ dapat diminimalisir.

Sosialisasi mengenai ancaman ‘trafiking’ juga harus lebih gencar diberikan kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah dan masyarakat yang tinggal di pedalaman daerah, yang sering kali kurang informasi, sehingga rentan menjadi korban penipuan. Dengan sosialisasi tersebut diharapkan masyarakat dapat lebih waspada dan sadar akan bahaya ‘trafiking’ di sekitarnya.

Solusi lainnya adalah dengan meningkatkan ekspor komoditi yang berkaitan dengan budaya bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah batik. Dengan lebih gencar mengekspor batik dan hasil budaya Indonesia, bukan hanya akan meningkatkan martabat bangsa Indonesia di dunia internasional, tetapi juga akan membuka peluang kerja bagi masyarakat Indonesia.

Tawaran solusi–solusi di atas bukanlah mustahil untuk direalisasikan mengingat bahwa bangsa Indonesia memiliki semua unsur untuk mencapai solusi – solusi tersebut. Tentunya kesuksesan dalam menyelesaikan permasalahan trafiking tidak dapat tercapai tanpa adanya peran semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, swasta, maupun kaum industrial.

Ditulis oleh : Deirdre Tenawin