twitter



Globalisasi menawarkan sejuta pembaharuan yang banyak memberikan sumbangsih kemajuan bagi kehidupan manusia. Efeknya secara jelas terasa di sekitar kehidupan kita. Berapa banyak diantara kita di jaman yang serba instan ini masih menggunakan fasilitas surat menyurat untuk menjangkau rekan maupun kerabat yang tinggal di luar kota ataupun di luar negeri ? Saya percaya bahwa sebagian besar dari kita telah meninggalkan alat komunikasi yang sempat fenomenal itu. Mungkin anda masih ingat masa – masa di tahun 90 an dimana istilah sahabat pena masih begitu familiar. Namun istilah sahabat pena itu kini hampir tak terdengar lagi, pelan – pelan ditenggelamkan oleh arus globalisasi. Fasilitas fasilitas moderen dengan simbol kecanggihannya bermunculan, surat – menyurat tidak lagi menjadi tren ketika fasilitas sms, email, friendster, facebook dan website pertemanan lainnya menggantikan fungsi penyampaian pesan dengan lebih cepat dan inovatif.

Dewasa ini dimana ruang dan waktu terasa tak seluas dulu, arus informasi begitu cepat dan mudah untuk diakses kapanpun dan dimanapun. Mata kita tidak lagi tertutup dari berbagai peristiwa yang terjadi di dunia Efek globalisasi ini jelas memberikan manfaat yang begitu besar bagi kemajuan suatu bangsa, terutama bagi kemajuan negara – negara berkembang seperti negara Indonesia. Bangsa yang berkembang boleh belajar banyak hal dari bangsa lain yang lebih dulu maju. Namun seperti pepatah yang mengatakan bahwa dimana ada gula disitu ada semut, maka efek positif tak pernah lepas dari efek negatif yang melekat bersamaan dengannya. Di satu sisi arus globalisasi membawa kemajuan pesat bagi bangsa ini namun di sisi lain turut menyapu nilai – nilai kehidupan bangsa yang berharga.

Sadar atau tidak sadar salah satu hal berharga yang ikut tersapu oleh arus globalisasi yang menghanyutkan bangsa ini adalah, kepolosan dan keluguan putra putri generasi penerus bangsa. Mereka adalah harta yang kini mulai tercemar oleh polusi globalisasi zaman. Apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, dan apa yang mereka konsumsi tidak lagi menjadi perhatian dan prioritas. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah reaksi bangsa ini yang hanya tersenyum cuek ketika “harta” mereka dicekoki racun – racun kehidupan oleh kaum kapitalis yang berlomba – lomba menimbun harta. Lihatlah tayangan – tayangan televisi yang dikonsumsi putra – putri bangsa ini, sinetron – sinetron yang mengajarkan kekerasan dan kebencian. Maupun lagu – lagu sekuler yang hampir seluruhnya memperkenalkan mereka pada keputusasaan cinta. Sungguh memprihatinkan ketika nilai – nilai kebaikan disamarkan dan digantikan dengan nilai – nilai kekerasan maupun permusuhan. Masih ingatkah anda sekalian pada kasus kekerasan yang menimpa seorang anak berumur 9 tahun bernama Ahmad Firdaus ? Ahmad adalah seorang siswa SDN Babakan Surabaya VII yang pingsan setelah dipukul teman sebayanya yang mempraktekan apa yang disaksikannya lewat tayangan “ Smackdown “ ( sebuah tayangan luar yang menampilkan permainan kekerasan yang kemudian ditayangkan di salah satu stasiun tv lokal ). (Warta Kota 28 November 2006).

Pertanyaannya kemudian setelah semua yang terjadi, masihkan hati nurani kita memilih untuk tidur dan tak peduli dengan mereka yang diracuni ? Sumbangsih apa yang dapat kita berikan dalam memperbaiki dan mengembalikan kepolosan dan keluguan putra – putri bangsa yang telah ternodai ? Salah satu hal sederhana yang dapat kita lakukan adalah dengan memberi perhatian terhadap tayangan – tayangan maupun musik – musik yang dikonsumsi anak, adik maupun anak – anak disekitar kita. Usahakan untuk memperkenalkan mereka pada tayangan – tayangan maupun musik – musik yang mendidik dan mengandung nilai kebaikan serta sesuai dengan porsi usianya. Perhatian dan kepedulian kita sekecil apapun sangat berharga dan berguna dalam menentukan nasib putra – putri bangsa ini di masa yang akan datang. Mari selamatkan “ anak – anak “ kita !